Saya tidak menyangka postingan saya dengan judul “Dorongan untuk pelaku Startup Gamedev Lokal” mendapatkan respon yang aduhai. Hehehe.. tapi semua komen adalah perdebatan argumentasi yang wajar dan mencerahkan.
Baca postingan awal saya di “Dorongan untuk pelaku Startup Gamedev Lokal” dan lihat komen-komen pembaca dibagian bawah.
Oke, saya akan membahas komen dari Mas Martin, karena membaca secara keseluruhan dari komennya, terlihat Mas Martin cukup reasonable dan mempunyai argumentasi yang jelas. Alasan itu yang membuat saya komen Mas Martin layak untuk dibahas secara terpisah dari postingan lama dan juga saya akan sertakan postingan dari Mas Guntur sebagai pembandingnya. Thanks buat kedua komentator untuk partisipasi pendapatnya di blog saya ini.
Kita mulai dari komen mas Martin terakhir:
Haha nama saya disebut2. Ndak apa2 sih. Jujur itu bukan saya.
Yang saya lihat terjadi di Indonesia begini:
Banyak developer flash atau java game “mengaburkan” masalah “tools” seperti mas Samuel katakan. Contoh: Ada anak ingusan yang terpukau dengan game-game hardcore sekelas Halo, Counter-Strike, Battlefield, Unreal Tournament dan bocah ini bercita-cita ingin membuat game seperti itu. Yang dia jalankan pertama adalah dia berkonsultasi dengan developer game. Yang dia temukan ternyata adalah developer game flash. Apa yang dia dapatkan ??? bocah ini didoktrin flash game programming. Developer flash ini mengajarkan seakan2 game2 tersebut memang dibuat dengan flash. Begitu juga dengan bocah2 lainnya. Biasanya dengan alasan serupa “Untuk membuat game, tool atau bahasa pemrograman tidak begitu penting, kamu bisa pakai apa saja flash, java, yang penting kreatifitas”.
Saya tidak pernah mengalami kasus yang Mas Martin katakan diatas. Namun kalaupun terjadi mungkin perlu solusi lain yang bisa memberikan arahan yang lebih tepat. Memang memprihatinkan kalau newbie bisa “tersesatkan” atau “sengaja disesatkan” oleh seniornya. Perlu survey lebih detail kalau memungkinkan tentang hal itu. Tapi saya akui, bisa saja kejadian diatas terjadi dari sudut penalaran saya.
Inilah yang mungkin bisa dikatakan menyesatkan. Akhirnya karena percaya sekali dengan developer flash diatas bocah ini nurut saja dan menekuni flash selama 2 tahun. Dan akhirnya dia sadar dan mendapati kalau XBOX, PS3, dan platform tempat game2 favoritnya dibuat tidak di develop dengan flash. Sia2lah waktu terbuang. Menyedihkan.
Ada beberapa kemungkinan saya kira. Bisa jadi newbie tersebut tidak memahami sebenarnya dan bisa disesatkan. Namun bisa saja, newbie tersebut berubah arah karena alternatif yang diberikan oleh senior di game flash tersebut. Kenapa saya lebih memilih kemungkinan yang terakhir? Wajar saja, banyak newbie yang mungkin akhirnya keder melihat proses panjang dalam mempelajari C++ untuk bisa digunakan dalam gamedev.
Yang perlu disadari adalah ketika kita menekuni game development di sebuah platform kita bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun. Alangkah bahayanya jika kita salah langkah. Seperti kasus diatas, bocah ini membuang waktu bertahun-tahun dengan sia2. Mungkin kita berpikir, ini adalah kesalahan si bocah, berkonsultasi dengan orang yang salah.
Benar sekali pendapat anda yang mengatakan: untuk menekuni gamedev membutuhkan waktu bertahun-tahun. Dan kurva belajarnya sangat panjang. Walaupunt tersedia tools namun pada kenyataanya tidak semudah itu. Yang saya pikirkan selain pemikiran anda diatas adalah: mungkin tidak kalau si bocah ternyata menyadari bahwa milestone gamedev dengan C++ sangat panjang dan memilih jalan praktis dengan bahasa lain?
Menurut saya tidak juga, tipikal orang seperti programer flash diatas banyak sekali dijumpai di Indonesia. Sebenarnya dia tidak tahu dengan apa dan bagaimana sebuah game hardcore dibuat. Tapi dia berlagak tahu dan cenderung meracuni para newbie yang sebenarnya punya cita2 membuat game hardcore.
Wah, saya tidak menyangka kalau banyak programmer flash yang tidak tahu bagaimana sebuah game hardcore di buat. Kalaupun iya, itu sangat memprihatinkan dan menjadi sebuah masalah juga sebenarnya. Bisa anda berikan beberapa contoh kasus (tanpa menyebutkan nama atau pelaku) yang bisa dijadikan referensi. Detail kejadian akan menjadi acuan bagi para newbie yang membaca artikel blog ini tentunya.
Intinya juga saya tidak memungkiri keberadaan pasar game flash dan java, tapiiii masalah seperti kasus diatas ini yang sering menjengkelkan. Hal ini juga yang saya pikir membuat game development di Indonesia berjalan lambat.
Kalau menurut saya adalah kurangnya perhatian publik. Publik itu bisa diartikan dengan masyarakat sebagai konsumen, pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan kampus sebagai penyedia pendidikan. Kalaupun ada kesalahan dari para newbie maka hanya menjadi sebagian dari faktor-faktor penyebab.
Kenapa saya katakan sebaliknya perhatian publik kurang? Menurut pengamatan saya dan beberapa acuan statistik perkembangan game di Indonesia: drive atau passion dari gamedev belum cukup kuat sehingga harus dibantu oleh 3 komponen tadi. Apalagi pemerintah dan kampus sebagai penopangnya. Nah, saya bukan bersifat pesimis, namun kondisi bisnis dan urusan perut studio game di Indonesia belum cukup kuat menjadi leader di area ini. Bukan seperti di Korea Selatan yang sudah mapan.
Coba kita telusuri di Korea Selatan. Saya kira, salah satu yang membuat gamedev di sana maju adalah kondisi penopang yang sudah mapan. Pemerintah sudah jelas dengan perangkat hukum dan implementasi ITE dan kampus sudah jelas arah edukasi untuk gamedev. Nah, walaupun pemerintah Korsel tidak berbuat banyak, studio-studio game bisa mandiri.
Di Indonesia, kita masih sporadis. Belum ada yang jadi leader. Jadi wajar saja kalau kejadian misleading dari programmer flash bisa dianggap menyesatkan. Tapi itupun sulit saya rasa dianggap sesat kalau sang senior menunjukkan bahwa game flash bisa sukses dengan milestone yang lebih realistis untuk kondisi Indonesia (Baca komen Mas Guntur Sarwohadi di Dorongan untuk pelaku Startup Gamedev Lokal).
Saya sering perhatikan developer Indonesia kurang melakukan riset mendalam ketika hendak membuat game. Contohnya begini:
> Saya ingin membuat game RPG di PS3.
> Yang harus saya lakukan pertama adalah mencari tahu dengan apa dan bagaimana game PS3 dibuat, dengan bahasa pemrograman apakah ? dengan compiler apakah ? dengan tool apakah ?
Saya juga perlu tahu bagaimana developer2 besar di US dan Jepang melakukannya. Dengan pertanyaan yang sama seperti di atas.
> Dengan melakukan hal diatas maka saya pasti akan bisa membuat game sekelas game yang mereka buat.
> Dan seterusnya, dan seterusnya.
Tapi kalau watak developer Indonesia, modelnya gini:
> Saya ingin membuat game RPG di PS3.
> Saya bisa flash dan saya tahu flash bisa membuat game apa saja yang kita inginkan. Tergantung kreatifitas kita.
> Dan seterusnya, dan seterusnya.
Inilah yang saya katakan sejak dulu sebenarnya. Perlu pengetahuan yang mendalam sebelum bertindak. Saya setuju dengan pendapat anda bahwa banyak newbie yang tidak melakukan riset. Kenapa tidak? Mungkin saja karena resources belum banyak. Internet? Hehehe… budaya kita belum terbina dengan baik Mas Martin. Internet masih sekedar copy paste atau meniru. Isinya masih menjadi acuan atau contoh iklan, belum menjadi bahan pemikiran. Nah, saya tidak menyalahkan siapapun disini, tapi mengapa kita tidak melakukan sesuatu untuk itu?
Sederhana saja. Saya mulai tahun 2005 dengan menulis buku Panduan Praktis Membuat Game 3D. Didalamnya saya paparkan bahwa programming dengan C++ adalah puncak tertinggi dari skill yang dibutuhkan. Buku saya ini banyak dijadikan acuan di kampus-kampus dan saya tahu betul itu. Itulah alasannya kenapa saya menduga banyak newbie memilih Flash disebabkan kekhawatiran (mungkin) bahwa belajar C++ masih sangat panjang dan membutuhkan dedikasi dan konsistensi yang tidak sedikit.
Sementara di bidang Flash tidak demikian. Sulitnya lagi, perkembangan game flash, casual dan social gaming cukup melesat jauh dan pasarnya membesar dengan signifikan belakangan ini. Tidak mungkin para newbie tidak tahu itu. Lalu mereka berpikir gampang saja: Di Indonesia belum ada hardcore game studio (Studio Matahari saja baru tutup tahun ini bukan) . Lengkaplah sudah alasan para non-hardcore enthusiast untuk memilih jalur lain.
Ada perbedaan besar antara realita pasar dan kondisi ideal pasar yang kita inginkan. Saya sendiri termasuk yang berusaha bertahan di “hardcore type of gaming” (setidaknya sampai sekarang hehehe), tapi saya tidak pungkiri kalau perkembangan non-hardcore sangat menggiurkan. Passion saya dan keyakinan saya yang menahan saya tetap di jalur semula. Saya tidak menyalahkan kalau para newbie memilih jalur lain.
Lantas apakah yang terjadi dengan developer Indonesianya, dia melakukan kesalahan besar. Game2 PS3 dibuat dengan SDK yang menggunakan C/C++ sebagai bahasa native, dengan
graphics API OpenGL ES dan Cg (bukan dengan flash). Akhirnya dia tidak bisa menghasilkan apa2. Konyol sekali, dan ini terjadi berulang-ulang dengan developer Indonesia yang lain.
Hmmm…. menarik sekali apa yang anda katakan. Saya belum bisa menyimpulkan pendapat anda yang terakhir ini karena membutuhkan pendapat-pendapat lain. Saya minta izin terlebih dahulu untuk memposting artikel ini di forum Gamedevid. Agar banyak yang komentar dan kita bisa melihat berbagai pendapat yang masuk.
Segitu dulu, lanjutkan diskusinya, bagus ini. Biar kita tambah maju.
Saya menantikan pendapat-pendapat anda yang lain. Saya kira posting ini cocok dibaca para newbie di forum GDI agar menjadi perdebatan yang hangat. Tujuan saya adalah mencoba melihat respon mereka yang bisa kita jadikan bahan masukan. Saya kira keprihatinan anda baik untuk dibaca para newbie dan para gamedev lainnya. Pasti ada masukan dan pencerahan yang bisa kita rasakan.
Link posting di forum GDI: http://www.gamedevid.org/forum/showthread.php?p=118135#post118135
2 komentar:
saya suka membuat game dengan VC++ dan nulis buku tentang game coba link berikut ini
www.heriady.com
mscv runtime.
Posting Komentar