Batas Tipis antara Game dan Animasi

Salah satu teknologi yang sedang berkembang namun masih dibawah radar adalah machinima. Machinima adalah animasi berbasis game engine. Banyak pro dan kontra untuk animasi yang dibuat dengan machinima. Padahal machinima bisa menjadi tool yang menjembatani industri game dan animasi.


Salah satu kelemahan dari industri animasi dalam negeri adalah ongkos produksi yang masih mahal. Dari beberapa teman pelaku animasi, saya mendapatkan bocoran. Untuk membuat 1 animasi berdurasi 24 menit, dibutuhkan biaya setidaknya berkisar antara 20 s.d 30 juta rupiah. Harga ini tidak bisa ditekan lebih rendah karena tuntutan biaya sebesar itu memang sudah wajar.

Masalahnya adalah harga animasi di televisi lokal sangat rendah. Beberapa berkisar antara 3.5 – 7 juta saja. Karena beberapa animasi yang diputar tidak merupakan produk baru serta sering menjadi alat strategi menembus pasar. Animasi ditekan agar bisa ditayangkan, sementara profit diraih dari buku, merchandise, mainan dan hak eksklusif lainnya. Jadi semacam subsidi silang.

Sah-sah saja kalau model bisnisnya seperti itu, tapi sayang untuk animasi lokal model bisnis seperti itu akan membunuh industri itu sendiri. Sulit untuk bersaing dengan animasi impor yang mengandalkan animasi sebagai trigger untuk membeli produk pendukung lainnya. Sedangkan industri animasi didalam negeri belum sekuat mereka dan sering hanya menjual animasi sebagai produk tunggal. Untuk menggabungkannya dengan produk lain akan membutuhkan biaya dan upaya yang jauh lebih besar.

Machinima bisa menjadi salah satu solusi untuk menjembatani perbedaan biaya tersebut. Dengan teknologi machinima, maka biaya pembuatan dapat dihemat dan harga yang diminta televisi lokal bisa dilayani.

Beberapa pendapat kontra muncul, seperti mutu machinima yang tidak seperti animasi 3d dengan model render biasa. Memang harus diakui, machinima bukan dimaksudkan untuk menyaingi animasi 3d biasa. Namun dengan machinima, maka biaya pembuatan  bisa diminimalkan. Soal mutu? Hehehe… bukan berarti machinima tidak bermutu. Di tangan yang ahli animasi, machinima pun bisa menjadi karya seni yang layak jual.

Beberapa studio di luar negeri sudah menggunakan machinima untuk membuat animasi. Memang tetap menggunakan workflow seperti animasi 3D biasa, hanya saja di tahap produksi animasi terasa perbedaan waktu dengan model render versus non-render. Sisanya hampir mirip. Penghematan waktu inilah yang sangat signifikan. Berpengaruh ke jam kerja, konsumsi peralatan dan biaya produksi, dsb.

Adaptasi machinima layak dipandang menurut saya agar bisa menjadi solusi untuk membangun banyak studio animasi di tanah air. Jangan hanya berpatokan ke metode biasa saja. Karena inovasi bisa dilakukan untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan kita. Plus kebutuhan hardware juga tidak terlalu tinggi dibanding dengan kebutuhan animasi 3D yang meminta kartu grafis dan prosessor yang tinggi pula.

Machinima juga bisa menjadi solusi untuk pembelajaran dunia animasi bagi pemula. Beberapa teknologi machinima juga tersedia open source selain yang versi free jika tidak dikomersialkan. Dengan demikian sejak awal para generasi muda Indonesia yang berbakat menjadi animator sudah bisa berkarya tanpa menggunakan barang bajakan.

Dengan akrabnya para remaja Indonesia dengan game, akan memudahkan mereka menyerap ilmu mengenai animasi dengan berbasis game engine. Saya yakin kalau teknologi machinima diterapkan di tingkat SMA/SMK akan menumbuhkan animator-animator handal beberapa tahun kemudian. Harus diterima bahwa membangun industri animasi adalah membangun industri berbasis SDM yang tentu saja membutuhkan waktu yang tidak cepat.

Animasi tidak lagi harus berfokus ke model render biasa. Beberapa animasi unik seperti model clay dengan model stop-motion pun bisa sukses. Namun yang harus diperhatikan adalah bisnis yang dijalankan, bila ongkos produksi tidak bisa ditutup dengan pemasukan, sehebat apapun studio animasi itu akan segera gulung tikar.

Saya pikir, kejadian seperti inilah yang membuat industri animasi didalam negeri tidak bisa berkembang normal. Sehingga sampai sekarang masih menjadi “tukang jahit” yang sibuk menyelesaikan order dari luar. Bukan saya menyatakan model ini tidak layak, tapi sayangnya kita hanya terus-terusan menjadi tukang jahit. Yang dinilai melalui order. Bukan seperti desainer yang dinilai dari mutu karya yang dibuat.

Yang hebatnya, negeri jiran malah sudah maju beberapa langkah dengan industri animasinya yang masih lebih muda dibanding kita. Ini tidak lepas dengan iklim model dukungan investasi disana dan keberanian pemerintah untuk membantu industri lokal. Jujur saja, pemerintah Malaysia banyak berperan untuk industri kreatif berbasis IT.  Tidak heran kalau Udin dan Ipin bisa menembus jaringan televisi Cartoon Network. Ibarat anak kecil, ketika masih TK dibantu, setelah dia dewasa akan berlari sendiri dengan cepatnya.

Sementara industri didalam negeri kita berbeda, mulai dari lahir anak haram, ketika balita anak tiri, sesudah remaja tidak diakui, sesudah besar? Hahaha… entahlah… Teman diskusi saya berkata bahwa gamedeveloper Korea Selatan bisa mandiri dan tidak bergantung kepada pemerintah. Pemerintah mereka malah sekarang menjadi pendukung dibelakang karena industri game itu maju dengan sendirinya. Saya mendebat dia dengan mengatakan bahwa tidak semua negara seperti Korea Selatan yang secara statistik sangat besar dari segi melek internet dan konsumsi industri IT.

Buktinya negara Malaysia, Philipina, dan beberapa negara Asia lainnya masih didukung dan dibantu pemerintahnya. Tidak usah munafik, kondisi di Indonesia unik. Dari SDM kita memang diakui bisa dan mampu unggul. Lalu kenapa dibiarkan sendiri tanpa adanya akselerasi dari industri pendukung dan pemerintah? Kalau mau dibiarkan ya biarkan saja.. toh waktu akan membuktikan sendiri apakah industri kreatif bisa bertahan atau kembali harus bertarung keras seperti industri lainnya di waktu lalu?

Kondisi miris adalah ketika saya mengetahui bahwa film animasi Membangun Mimpi ternyata dikerjakan oleh anak-anak Indonesia walaupun dibiayai oleh negara asing. Memang di era global ini kita tidak lagi harus membatasi dengan perbedaan negara. Tapi lihatlah bahwa perusahaan itu ditempatkan di Batam dan operasionalnya dibiayai oleh luar negeri. Kenyataan pahit adalah ketika nanti produknya ditujukan untuk pasar Indonesia dan bukan luar. Jadi artinya keuntungan yang diterima akan lari ke negara pembuat dan kita harus membeli dengan harga biasa, padahal yang membuat adalah orang kita sendiri.

Pertanyaan: kenapa tidak ada yang bisa menjadi tuan di negeri sendiri? Kenapa harus asing yang membiayai dan asing yang menikmati hasilnya? Kalau kita menjadi pembuat dan kita dibayar menurut produk yang kita buat lalu dijual ke pasar luar, saya kira masih bisa diterima akal sehat. Kejadian ini sama seperti ketika teman saya membeli jeans buatan Indonesia di Singapura beberapa tahun lalu? Dia sampai ngamuk-ngamuk dan keki. Kenapa aku tidak beli di Indonesia saja pikirnya?

Hubungan cerita itu adalah: Kenapa kita tidak membangun industri yang kuat di lokal untuk pangsa pasar lokal saja? Seperti China yang bahkan bisa mengekspor produksi animasi dan gamenya? Padahal mereka beberapa tahun lalu juga menjadi penikmat game asing?

Terbukti bahwa generasi muda Indonesia adalah orang-orang yang cepat menguasai teknologi IT. Jadi machinima bisa kita manfaatkan agar menjadi alternatif teknologi untuk:

   1. Memunculkan animator-animator baru
   2. Membuat terobosan karya-karya yang mampu dibeli televisi lokal dengan harga terjangkau
   3. Membangun industri animasi dengan biaya terjangkau

0 komentar:

Posting Komentar