Game atau video game, tidak lagi sama dengan video game di era 1990-an yang masih menonjolkan hiburan dan permainan semata. Kini game dan teknologi pendukungnya sudah berubah dan jauh lebih kompleks. Di tahun 1990 awal, game masih diwarnai dengan tujuan untuk permainan saja. Hiburan adalah tujuan utama dari game itu dibuat. Namun kini sudah berubah seiring perkembangan teknologi game dan manfaatnya.
Pemain game sekarang tidak lagi melulu anak-anak atau remaja. Kini usia rata-rata game adalah 35 tahun. Jadi usia lanjut sudah lebih banyak memainkan game. Wajar saja, game mulai populer di erah 1990 awal, jadi kalau saja mereka memainkannya ketika umur 15 tahun wajar saja sekarang sudah berumur 35 tahun lebih.
Game juga sudah tidak didominasi oleh kaum pria. Bahkan genre casual game sudah dikuasai lebih dari 40% pemain wanita. Ini menunjukkan game tidak selalu berhubungan dengan dominasi gender seperti era 1990-an. Disisi teknologi, game juga sudah sangat berkembang pesat. Selain efek realisme, berbagai jenis game juga muncul se[erti social networking game yang bahkan pertumbuhannya mengalahkan pertumbuhan game kelas AAA secara statistik dari persentase tahunan.
Karena sifatnya yang menantang dan sangat menarik, game digunakan banyak perusahaan dengan menggabungkan sistem dan mekanika game untuk mengajarkan berbagai prosedur atau kejadian, khususnya untuk simulasi kerja dan pelatihan. Bahkan jangkauannya meluas sampai bisa digunakan untuk pelatihan sikap dan mental (psikologi), pelatihan kepemimpinan, penyembuhan penyakit autis, training manajemen dan berbagai skill lainnya. Hal ini tidak terbayangkan sebelum era 2000-an. Walaupun ada beberapa pakar yang mengajukan topik ini, namun masih dianggap sebagai teori dan pemikiran yang mungkin akan terealisasi lama.
Kenapa Game Based Learning penting?
Sederhana saja sebenarnya. Kalau anda seorang pendidik, tentu anda tahu informasi ini:- Kebanyakan siswa hanya mengingat 5-10% apa yang mereka baca
- Kemudian hanya mengingat 20% apa yang mereka dengar
- Dan meningkat menjadi 30% apa yang mereka lihat secara visual dari apa yang mereka dengarkan
- Menjadi 50% jika mereka melihat seseorang mempraktiknya secara langsung sembari menerangkan
- Secara drastis bisa mencapai 80% jika mereka melakukannya sendiri, walaupun hanya sekedar simulasi
Sekarang anda baru sadar, mengapa seorang anak sangat candu dengan game. Karena ketika dia melalukannya sendiri, maka kemampuannya mencapai 80% dari apa yang dipelajarinya. WALAUPUN GAME ITU HANYA SIMULASI!
Wajar saja kalau orang tua banyak yang kelabakan dengan fenomena ini, namun kalau melihat informasi diatas akan mudah paham. Coba saja materi pelajaran dibuat dengan simulasi game, pasti lebih mudah mencapai tingkat 80% bukan? Kekuatan interaktif dan simulasi dari game sangat membantu dan meningkatkan pengertian kita dalam belajar dan bekerja.
Contoh Kasus: Game Sejarah 1949 - Serangan Umum di Jogja
Saya membuat contoh kasus pendidikan sejarah. Banyak guru mengeluhkan muridnya tidak menyukai sejarah Indonesia. Wajar saja, saya sendiri bosan dengan pelajaran sejarah ketika masih SD. Guru hanya mengajarkan tanggal dan peristiwa detailnya. Saya hanya bisa membayangkan sedikit dan melihat beberapa referensi berdasarkan foto atau gambar dari buku.Tigapuluh tahun kemudian, saya membuat game berdasarkan sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 di Jogja. Game itu sederhana saja, tidak banyak berisi teori dan tanggal yang perlu dihapal. Tapi menggambarkan suasana perang melawan agresi Belanda. Seperti terlihat dibawah ini, pejuang Indonesia masuk ke kebun kelapa yang saat itu sedang dikuasai Belanda. Tugasnya adalah menyerang kompi Belanda dan melumpuhkan pertahanan mereka sebelum pasukan inti menyerbu masuk ke Jogja.
Wajar saja kalau anak SD menyukai game ini. Walaupun masih berisikan tema dar-der-dor. Namun fokus mereka bukan lagi belajar materi yang membosankan. Mereka bisa menjadi pejuang dan belajar mengenal situasi nyata ketika Indonesia berusahan melawan agresi Belanda saat itu. Simulasi ini yang membuat pemain tidak mudah bosan, malah semangat menyerbu Belanda. Padahal ketika dia bermain, banyak informasi yang didapatkan perihal kejadian di masa itu.
Game sejarah perjuangan 1949 - Serangan Umum di Jogja
Ketika game ini saya demokan didepan beberapa siswa, respon yang saya dapatkan? Wuihh beragam dan sangat menarik mendengarkan celoteh mereka. Berbagai pendapat serta komentar yang mereka lontarkan. Semuanya menjadi aktif dalam menceritakan perang yang mereka lakoni. Bahkan mereka saling berdebat dengan seru. Salah satu masukan mereka adalah: Bisa tidak mereka menjadi pihak Belanda agar bisa melihat usaha perjuangan dari pejuang Indonesia. Sebuah pemikiran yang sangat menarik bukan? Mereka tidak lagi bosan, malah aktif dan memunculkan ide baru!Game Based Learning dan Proses Peningkatan Edukasi
Serious Games sebagai sarana nyata dari Game Based Learning menjadi alat yang penting dalam proses peningkatan edukasi. Beberapa pihak masih membandingkan game dengan animasi. Tapi berdasarkan informasi diatas, anda bisa melihat bahwa animasi hanya sampai ke tingkat 50% saja dimana siswa dapat melihat orang lain atau proses tertentu diperagakan melalui animasi. Sementara dengan game proses pemilihan tindakan, belajar dari kesalahan dan menganalisa proses menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam proses simulasi. Dan semuanya bisa dilakukan dengan suasana yang menantang dan menarik! Itulah kekuatan game sebenarnya.Pendidikan yang diberikan oleh game bahkan bisa melampaui umur anak-anak dan remaja. Game Based Learning tidak melulu untuk siswa sekolah. Jangan terkecoh dengan istilah learning. Pembelajaran meluas ke berbagai bidang seperti militer, medis, kesehatan, manajemen, dsb.
Perpaduan game yang bersifat interaktif dan menantang bila dipadukan dengan edukasi yang terstruktur dan terukur malah menghasilkan kombinasi yang positif. Dunia edukasi dapat mencapai tingkat pemahaman dan penyerapan materi pelajaran yang jauh lebih efektif bila dilakukan tanpa game. Anda setuju?
0 komentar:
Posting Komentar